PAN Senayan Minta MK Hati-hati Putuskan JR Sistem Pemilu

Bagikan:

AshefaNews, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk sangat berhati-hati dalam memutuskan uji materi atau judicial review (JR) terkait Pasal 168 ayat 2 Undang-undang No 17 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem pemilu. Pasal tersebut, diketahui mengatur tentang sistem proporsional terbuka atau pemungutan suara dengan memilih calon anggota legislatif.

Hal ini dikatakan Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay menanggapi judicial review yang dilakukan oleh beberapa pihak terkait pasal sistem proporsional dalam pemungutan suara.

“Kami minta MK berdiri secara adil dan transparan dalam mengadili perkara ini. Jangan sampai ada dugaan MK tak adil karena lebih memilih satu sistem daripada sistem lainnya,” kata Saleh dalam keterangannya, Jumat (30/12/2022).

Menurut Saleh, sejak 2008, sistem pemilu yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka. Hal ini sebagai bentuk ketaatan kepada Putusan MK tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“MK sendiri sudah menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak. Dan saya rasa keputusan MK itu sudah benar, buktinya sudah dipakai berulang kali dalam pemilu yaitu 2009, 2014, dan 2019,” ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR ini menjelaskan, dalam penerapannya sejauh ini tidak ada kendala apapun yang dihadapi. Hal ini lantaran masyarakat bisa menerima sistem ini dengan baik.

“Penerapan sistem proporsional terbuka juga menyebabkan partisipasi publik untuk berpolitik memberikan suaranya menjadi tinggi,” jelas Saleh.

Legislator dapil Sumut II II ini menegaskan jika dalam putusan MK pada 2008 menetapkan bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.

Karenanya, Saleh berharap para hakim konstitusi saat ini tetap konsisten dengan putusan yang sudah pernah dibuat para hakim sebelumnya soal sistem pemilu. Hal ini untuk menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan tersebut.

“Argumen itu jelas tertuang dalam pertimbangan hukum majelis ketika itu. Tentu sangat aneh, jika argumen bagus dan rasional seperti itu dikalahkan, apalagi Putusan MK sifatnya final dan mengikat,” tukasnya.

(GE – TYO)

Scroll to Top