AshefaNews, Jakarta – Tahun depan, prediksi perekonomian negara-negara di wilayah Asia tidak menggembirakan. Tapi beberapa negara kawasan ini juga kemungkinan akan diuntungkan karena perusahaan melakukan diversifikasi investasi dari pasar Tiongkok.
Selama 2022 perekonomian Asia Selatan dan Tenggara mengalami tantangan pada 2022, tahun di mana ekonomi global diprediksi pulih dari dampak buruk pandemi covid-19. Akan tetapi invasi Rusia ke Ukraina dibarengi dengan hambatan rantai pasokan yang terus berlanjut, penguncian covid-19 yang berulang di Tiongkok dan melonjaknya inflasi.
Kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengendalikan lonjakan inflasi menyebabkan depresiasi sejumlah mata uang Asia. Kondisi ini makin memperburuk masalah utang beberapa negara, mengikis daya beli, dan mendorong bank sentral di sejumlah negara menaikkan suku bunga secara signifikan untuk menopang mata uang mereka.
Perekonomian kawasan Asia Tenggara juga menghadapi hambatan. Meningkatnya biaya impor pangan dan bahan bakar, telah menguras cadangan devisa beberapa negara dan memicu krisis ekonomi.
Di Asia Selatan, Sri Lanka dan Pakistan telah menerima bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) setelah terjerat utang dan menghadapi kesulitan neraca pembayaran.
Para ahli memperkirakan, situasi ekonomi yang berat pada 2023, di tengah prospek pertumbuhan yang melemah di AS, zona euro dan Tiongkok, serta pengetatan kondisi keuangan.
Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menurunkan perkiraan pertumbuhan untuk sejumlah negara berkembang di Asia. Perekonomian berorientasi perdagangan seperti Singapura, Thailand, Vietnam, dan Malaysia diprediksi akan sangat terpengaruh oleh ekspansi global yang lebih lambat.
“Ketika permintaan eksternal melemah, ekspor mulai merosot, dan kami perkirakan ada pelemahan lebih lanjut di tahun mendatang,” kata Alicia Garcia-Herrero, Kepala Ekonom untuk Kawasan Asia Pasifik di bank investasi Natixis, dilansir dari DW, Kamis (29/12).
Dia juga menunjukkan, ekonomi yang digerakkan oleh sektor perdagangan seperti Malaysia dan Vietnam telah mengalami kontraksi sejak November lalu.
Tiongkok, ekonomi terbesar di kawasan ini, juga diperkirakan akan mencatat pertumbuhan yang lebih lambat pada tahun 2023. ADB belum lama ini memangkas proyeksi pertumbuhan negara tersebut menjadi 4,3% dari prakiraan sebelumnya 4,5%.
Beijing telah berusaha untuk mendorong pertumbuhan, dengan memangkas suku bunga utama dan memompa uang tunai ke dalam sistem perbankan. Selain itu, Tiongkok juga tidak lagi memberlakukan kebijakan nol covid-19.
Sementara beberapa pembatasan tetap diberlakukan, ada harapan ketika Tiongkok mencabut aturan yang ketat, permintaan domestik akan bangkit kembali di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Langkah itu juga akan membantu ekonomi beberapa negara Asia Tenggara yang terutama bergantung pada sektor pariwisata, seperti Thailand. “Kedatangan turis ke negara-negara Asia Tenggara jumlahnya masih jauh dari masa pra-covid karena kurangnya turis Tiongkok,” kata Garcia-Herrero.
Meskipun demikian, pihaknya tidak mengharapkan turis Tiongkok untuk kembali ke Asia Tenggara sebanyak sebelum covid-19. “Orang akan berharap bahwa akan ada peningkatan jika Tiongkok kembali dibuka,” pungkasnya.
(PP – Yana)