AshefaNews – Kecuali menjadi landmark kota, alun alun pun dijadikan area publik, ruang budaya, dan ruang sosial. Kebanyakan kota yang ada di pulau Jawa punya lapangan terbuka yang luas yang diperuntukkan bagi masyarakat. Alun alun biasanya berdesain persegi empat dan berada di pusat kota.
Sejarah Alun Alun
Alun alun punya satu ciri khas yaitu berada di depan tempat tinggal penguasa daerah. Di Indonesia sejarah alun alun dibedakan menjadi tiga periode terdiri era sebelum kolonial, era kolonial, dan era sesudah masa kolonial. Pembagian itu dilakukan karena adanya pergeseran konsep alun alun yang semula sakral menjadi profan, sejalan dengan perubahan area bangunan yang mengikutinya. Alun alun telah ditemukan dari masa Kerajaan Majapahit tahun 1300 an silam.
Dalam kitab Negarakertagama karangan Prapanca disebutkan jika di sisi utara area keraton Majapahit ada dua alun alun yang dinamakan Bubat dan Waguntur. Kegunaan keduanya berbeda. Alun alun Bubat cenderung profan yaitu menjadi lokasi penyelenggaraan pesta rakyat dalam bentuk pementasan ataupun permainan. Sedangkan alun alun Waguntur cenderung sakral yang dimanfaatkan sebagai tempat penyelenggaraan upacara penobatan raja ataupun pesta kenegaraan.
Kendati penjelasan Prapanca dalam kitabnya itu tak begitu rinci, namun tetap dapat disimpulkan betapa vital fungsi alun alun menjadi bagian pusat kota. Usai dominasi Hindu tamat di pulau Jawa kemudian diganti kekuasaan Islam, alun alun pun ditemukan pada era Kesultanan Mataram dibawah raja Panembahan Senopati. Alun alun tetap menjadi salah satu kompleks keraton.
Keraton merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat kebudayaan dimana sang raja menetap. Oleh karena itu keraton beserta alun-alunnya merupakan miniatur makrokosmos yang dianggap sakral. Konsep tata ruang yang dibuat Kesultanan Mataram merupakan pengembangan tata ruang Candi Plaosan Lor yang ditaksir datang dari abad kesembilan. Denah candi tersebut menunjukkan beberapa tempat suci yang dikitari ratusan candi kecil serta stupa. Banyak candi kecil tersebut bisa dikatakan wakil wilayah vasal.
Kerajaan Mataram Islam lalu mengembangkan dalam kaidah lingkaran konsentris yang tersusun dari Keraton, Nagara, Nagragung, dan Mancanegara. Keraton adalah lingkaran paling dalam dimana sultan beserta keluarganya menetap. Pemerintah dinamakan paréntah jero. Lalu Nagara (ibu kota) dimana lingkarannya makin keluar, ditempati pangeran, patih, serta kalangan pejabat tinggi lain. Pemerintahannya dinamakan paréntah njaba.
Para petinggi setingkat patih adalah saluran pertama dimana titah sultan disampaikan ke golongan priyayi. Mereka pun merupakan saluran komunikasi berupa laporan dari masyarakat ke sultan. Berbagai peraturan dalam lingkaran tersebut sangat ketat. Bukan hanya bahasa, namun juga busana, tatakrama, serta aturan khusuk dalam keraton ada aturannya dan harus diikuti siapa pun yang masuk. Orang dari kelas priyayi atau rakyat kebanyakan tentu malu dan takut jika berbuat salah dalam keraton.
Berikutnya Nagaragung, adalah ibukota dengan pengertian yang luas. Tanah di wilayah tersebut adalah tanah lungguh yang diserahkan kepada kalangan pangeran serta pejabat tinggi. Adapun mancanegara dimana wilayahnya terluas dipimpin kalangan bupati yang dipilih sultan, yang bertanggung-jawab kepada patih. Dari sistem ruang semacam itulah alun alun datang sebagai bagian dari lingkaran terdalam kekuasaan Jawa.
Alun Alun pun ditentukan dengan dua poros, meliputi barat-timur dan selatan-utara. Poros barat timur mempengaruhi ruang pribadi, akrab, hingga keramat. Sedangkan poros selatan-utara, mempengaruhi ruang publik, resmi, serta tempat upacara. Poros selatan-utara adalah yang paling konkrit sebab menyambungkan alun alun utara dan alun alun selatan lewat 7 area halaman yang saling berhubungan melalui pintu gerbang. Dari tiap-tiap gerbang selatan dan utara sebelum betul-betul mencapai tempat tinggal sultan sesudah melalui alun alun tamu harus melewati sejumlah tempat yaitu Sitinggil, Brajanala, Kemandungan, serta Srimanganti.
Tempat-tempat tersebut sesungguhnya sebagai tempat menunggu sebelum masuk ke halaman pusat atau pelataran. Sitinggil adalah tempat menunggu terluar dimana letaknya terdekat dengan alun alun yang sering difungsikan raja dalam menemui para pejabat dan masyarakat. “Di Sitinggil lor ada suatu serambi tinggi yang dikunjungi raja di momen khusus dengan duduk di kursi kebesaran dan menghadap ke utara. Momen itu antara lain mendatangi pelaksanaan hukuman pancung, pesta rakyat, maupun pementasan kesenian.
Masa penjajahan Belanda alun alun terjadi beberapa pergeseran makna. Kendati begitu, para bupati yang bekerja di bawah pemerintahan kolonial tetap melanjutkan warisan Mataram. Rumah bupati di Jawa tetap didirikan agar menjadi miniatur keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di halaman depan rumah bupati dibuat pendopo sementara di alun alun diselenggarakan berbagai kegiatan diantaranya sodoran, grebegan, dan lainnya. Pemerintahan kolonial pun menerapkan warisan itu ke sistem pemerintahan tak langsung yang diselenggarakan.
Pemerintahan kabupaten di bawah pimpinan asisten residen (ditunjuk dari orang Belanda) dan bupati (pribumi), ditempatkan di dekat alun-alun. Apabila kediaman bupati dan pendopo berlokasi di sisi selatan, otomatis rumah asisten residen umumnya di sisi utara alun alun. Di zaman itu di sekitar alun alun, di samping tempat tinggal bupati dan pendopo, pun berdiri gedung pengadilan, masjid, penjara, kantor pos, pasar, halte, kantor polisi, serta berbagai fasilitas umum yang lain.
Efek sakral alun alun pada era kolonial lalu meluas sehingga banyak dikenal masyarakat. Di masa kolonial itu adalah ‘civic space’. Malah di akhir era kolonial pun meningkat menjadi seperti plaza di Eropa. Ketika era kolonial Belanda usai, alun alun lagi-lagi terjadi pergeseran makna. Tidak sedikit pemerintah daerah selaku pengambil aturan tata ruang kota tak tegas dan tak paham fungsi dari alun alun. Prinsip area peninggalan zaman kerajaan tersebut difungsikan untuk aktifitas olahraga maupun taman kota.
Fungsi Alun Alun Kini
Beberapa kali mengalami pergeseran makna, fungsi alun alun saat ini sudah berbeda jauh dengan fungsinya di masa lalu. Malah tidak sedikit alun alun yang kini tak jelas kegunaannya, sebab pusat kota telah beralih ke tempat lain. Yang parah malah ditemukan alun alun yang dilirik investor untuk dibeli sebab posisinya strategis di pusat kota. Bahkan alun alun di beberapa kota pun beralih fungsi menjadi semacam “pasar malam” ketika sore hari tiba. Banyak pedagang yang berjualan aneka makanan, pakaian, kebutuhan rumah tangga dan bahkan mainan anak-anak.
Semua itu akibat dari belum tersedianya sebuah konsensus budaya yang pasti secara nasional. Agar dapat dipergunakan untuk patokan dalam mengelola alun alun yang masih ada saat ini, oleh karena itu lumrah jika terjadi kebingungan untuk mengelola pembangunannya. Pemerintah daerah ingin meninggalkan pola tradisional, namun tidak punya pola baru yang solid.
Sudah saatnya mengembalikan fungsi alun alun sebagaimana fungsinya di masa lalu. Alun alun adalah tempat di mana rakyat bertemu dengan pemimpinnya untuk menyampaikan pengaduan, harapan atau saran. Bukan sebagai pusat kegiatan masyarakat sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.
(GE – HKM)